SEJARAH SINGKAT TAMAN SARI DAN PERKAMPUNGANNYA
kawasan Tamansari dengan kampung taman-nya ini sangat
terkenal dengan kerajinan batiknya. Kita dapat berbelanja maupun melihat secara
langsung pembuatan batik-batik yang berupa lukisan maupun konveksi. Kampung
Tamansari ini sangat dikenal sehingga banyak mendapat kunjungan baik dari
wisatawan mancanegara maupun wisata nusantara.
Tamansari dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwono I
atau sekitar akhir abad XVII M.
Tamansari adalah sebuah tempat yang cukup menarik untuk
dikunjungi. Selain letaknya yang tidak terlalu jauh dari Kraton Yogyakarta yang
merupakan obyek wisata utama kota ini, Tamansari memiliki beberapa
keistimewaan. Keistimewaan Tamansari antara lain terletak pada bangunannya
sendiri yang relatif utuh dan terawat serta lingkungannya yang sangat mendukung
keberadaannya sebagai obyek wisata.
ta/TAMANSARI%20-%20Benteng%20yang%20Dikelilingi%20Air.htm
AK terhitung seberapa banyak bangunan peninggalan
bersejarah di Indonesia. Salah satunya Tamansari yang termasuk bagian dari
warisan budaya Keraton Kasultanan Yogyakarta. Letaknya tak jauh dari Keraton
Yogyakarta, sekitar 300 m di sebelah barat Keraton, tepatnya di Kampung Taman,
Kecamatan Kota Yogyakarta.
Tamansari dibangun pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I di tahun 1758. Tujuan pembangunannya adalah sebagai tempat untuk menentramkan hati, beristirahat, berekreasi, serta sebagai sarana/benteng untuk menghadapi situasi bahaya. Bangunannnya dilengkapi pula dengan tempat beribadah.
Naman Tamansari memiliki dua suku kata, yaitu taman yang berarti kebun yang ditanami bunga-bunga, dan sari yang berarti indah. Apabila digabungkan menjadi sebuah nama kompleks taman dengan keindahan dan suasananya yang asri.
Pemandangannya juga mengarah ke rumah-rumah penduduk sekitar yang dulunya dijadikan kebun buah
Tamansari dibangun pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I di tahun 1758. Tujuan pembangunannya adalah sebagai tempat untuk menentramkan hati, beristirahat, berekreasi, serta sebagai sarana/benteng untuk menghadapi situasi bahaya. Bangunannnya dilengkapi pula dengan tempat beribadah.
Naman Tamansari memiliki dua suku kata, yaitu taman yang berarti kebun yang ditanami bunga-bunga, dan sari yang berarti indah. Apabila digabungkan menjadi sebuah nama kompleks taman dengan keindahan dan suasananya yang asri.
Pemandangannya juga mengarah ke rumah-rumah penduduk sekitar yang dulunya dijadikan kebun buah
http://www.mediaindonesia.com/mediatravelista/index.php/read/2011/11/17/3321/2/Menapaki-Sejarah-Keraton-Kasultanan-di-Tamansari
http://jogjakotaku.multiply.com/journal/item/1/_TAMANSARI_restorasi_tiada_henti?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Terletak di Kampung Taman, 500 m sebelah selatan kompleks
Keraton Yogyakarta, pada 1578 pesanggrahan ini dibangun sebagai tempat bercengkerama
dan menenangkan diri Sultan sekeluarga. Bukan hanya sebagai tetirahan,
Tamansari juga dilengkapi lorong rahasia untuk berlindung dan menyelamatkan
diri. Kompleks ini mulanya memiliki 57 bangunan, seperti kebun, gapura, danau
buatan, kolam pemandian, kanal air, juga masjid dan lorong bawah tanah.
Namun beberapa bagian itu kini sudah tak utuh lagi. Umumnya karena tergerus usia dan cuaca, namun tak jarang situs-situs tersebut rusak parah oleh bencana alam. Gempa hebat di Yogyakarta, 10 Juni 1867, menghancurkan sebagin besar bangunannya, termasuk terowongan yang konon tembus ke Keraton dan Pantai Selatan. Selepas Sultan Hamengkubuwono III bertahta, Tamansari pun tidak digunakan lagi. Lambat laun, masyarakat biasa mendirikan rumah-rumah di sekitarnya
dan membentuk perkampungan, yaitu Kampung Taman yang terkenal dengan kerajinan batiknya.
Upaya untuk mengembalikan pesona bangunan dengan perpaduan gaya Portugal, Jawa, Islam, dan Cina itu pun ditempuh. Pemda DIY memugar kompleks ini pada 1977. Pemeliharaan rutin dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) dengan dukungan APBN. Pada 2001, pemugaran gerbang dan urung-urung-nya menelan 120 juta rupiah dana APBD. Atas prakarsa Jogja Heritage Society, pada 2003 sebuah yayasan pelestarian seni-budaya Portugal, Calooste Golbenkian, bekerjasama dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) dan Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM juga merehabilitasi Tamansari.
Berbagai langkah perbaikan itu, tentunya agar kondisi Tamansari tak semakin mengkhawatirkan. Seperti dicatat World Monument Fund, sebuah badan dunia yang peduli pada nasib situs-situs sejagat, Tamansari masuk dalam daftar 100 Most Endangered Sites, 100 situs paling terancam keberadaannya. Apalagi seusai lindu dahsyat 27 Mei 2006 silam, kondisi Tamansari kian memprihatinkan. Gempa bumi itu telah meretakkan tembok-temboknya. Banyak bagian Pulau Cemeti juga roboh. Puing-puingnya bahkan menewaskan sejumlah warga setempat.
Sampai kini, restorasi Tamansari masih berlangsung secara bertahap. Awal Maret 2007 lalu, upaya rehabilitasi Tamansari pasca-gempa kembali dibahas dengan melibatkan BP3 dan Unesco. Pemugaran dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan bahan, teknik, dan detail bangunan. Berbeda dengan bangunan biasa, Tamansari termasuk situs yang kaya catatan budaya dan sejarah. Tak semestinya upaya mengembalikan Tamansari sebagai—sesuai arti namanya—“taman yang indah” hanya dengan memasang material baru sehingga menghilangkan aura kelampauannya. Bukankah justru ini yang menjadikan Tamansari indah memesona dan dituju sebagai objek wisata?
Namun beberapa bagian itu kini sudah tak utuh lagi. Umumnya karena tergerus usia dan cuaca, namun tak jarang situs-situs tersebut rusak parah oleh bencana alam. Gempa hebat di Yogyakarta, 10 Juni 1867, menghancurkan sebagin besar bangunannya, termasuk terowongan yang konon tembus ke Keraton dan Pantai Selatan. Selepas Sultan Hamengkubuwono III bertahta, Tamansari pun tidak digunakan lagi. Lambat laun, masyarakat biasa mendirikan rumah-rumah di sekitarnya
dan membentuk perkampungan, yaitu Kampung Taman yang terkenal dengan kerajinan batiknya.
Upaya untuk mengembalikan pesona bangunan dengan perpaduan gaya Portugal, Jawa, Islam, dan Cina itu pun ditempuh. Pemda DIY memugar kompleks ini pada 1977. Pemeliharaan rutin dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) dengan dukungan APBN. Pada 2001, pemugaran gerbang dan urung-urung-nya menelan 120 juta rupiah dana APBD. Atas prakarsa Jogja Heritage Society, pada 2003 sebuah yayasan pelestarian seni-budaya Portugal, Calooste Golbenkian, bekerjasama dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) dan Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM juga merehabilitasi Tamansari.
Berbagai langkah perbaikan itu, tentunya agar kondisi Tamansari tak semakin mengkhawatirkan. Seperti dicatat World Monument Fund, sebuah badan dunia yang peduli pada nasib situs-situs sejagat, Tamansari masuk dalam daftar 100 Most Endangered Sites, 100 situs paling terancam keberadaannya. Apalagi seusai lindu dahsyat 27 Mei 2006 silam, kondisi Tamansari kian memprihatinkan. Gempa bumi itu telah meretakkan tembok-temboknya. Banyak bagian Pulau Cemeti juga roboh. Puing-puingnya bahkan menewaskan sejumlah warga setempat.
Sampai kini, restorasi Tamansari masih berlangsung secara bertahap. Awal Maret 2007 lalu, upaya rehabilitasi Tamansari pasca-gempa kembali dibahas dengan melibatkan BP3 dan Unesco. Pemugaran dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan bahan, teknik, dan detail bangunan. Berbeda dengan bangunan biasa, Tamansari termasuk situs yang kaya catatan budaya dan sejarah. Tak semestinya upaya mengembalikan Tamansari sebagai—sesuai arti namanya—“taman yang indah” hanya dengan memasang material baru sehingga menghilangkan aura kelampauannya. Bukankah justru ini yang menjadikan Tamansari indah memesona dan dituju sebagai objek wisata?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar